Oleh: Hasanul Rizqa
Tokoh-tokoh Muslim berperan sentral dalam sejarah Republik Indonesia. Di antara banyak nama, ada sosok Syafruddin Prawiranegara (ejaan lama: Sjafruddin Prawiranegara). Pahlawan nasional tersebut lahir pada 28 Februari 1911 di Anyer Kidul, Serang, Banten. Ia berpulang ke rahmatullah dalam usia 77 tahun.
Dalam diri Syafruddin Prawiranegara, mengalir darah ningrat. Ayahnya, Raden Arsyad Prawiraatmadja, merupakan anak Haji Chatab Aria Prawiranegara alias Patih Haji, seorang keturunan bangsawan Kesultanan Banten.
Ayahandanya itu terkenal cerdas. Selaku pangreh praja dan jaksa, kepemimpinan Raden Arsyad juga dicintai rakyat Banten. Bagi menak tersebut, setiap orang—pribumi maupun Belanda—adalah setara.
Pernah suatu ketika, Raden Arsyad berbincang dengan seorang pejabat tinggi kolonial di Serang. Lawan bicaranya itu terkejut karena gestur sang ayah Syafruddin yang egaliter, semisal memilih duduk di kursi, alih-alih bersila di lantai seperti yang biasa dilakukan orang Pribumi di hadapan orang Belanda. Lebih takjub lagi karena Raden Arsyad fasih berbahasa Belanda.
Ibunda Syafruddin bernama Noeraini. Buyutnya, Sutan Alam Intan, merupakan keturunan raja Pagaruyung. Usai Perang Padri (1803-1838), Belanda mengasingkan Sutan Alam Intan ke Banten karena menganggap pengaruhnya berbahaya bagi stabilitas politik kolonial di Sumatra. Kemudian, ningrat Minangkabau tersebut menikah dengan kalangan Istana Banten.
Pada 1912, rumah tangga Noeraini retak. Raden Arsyad menikah lagi dengan Raden Suwela. Kuding—panggilan kecil Syafruddin Prawiranegara—waktu itu baru berusia satu tahun sehingga belum menyadari arti perpisahan kedua orang tuanya.
Saat berusia tujuh tahun, Syafruddin mengunjungi kediaman ibu kandungnya sekaligus bersilaturahim dengan beberapa kerabat terdekat. Sejak itu, hubungan antara Noeraini dan Suwela membaik. Berstatus ibu tiri, Suwela menyayangi Kuding yang sudah dianggapnya anak sendiri.
Pada 1924, Raden Arsyad hijrah ke Ngawi (Jawa Timur). Saat itu, Kuding alias Syafruddin masih duduk di bangku Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar yang menjadikan Belanda sebagai bahasa pengantar.
Dalam buku biografi yang disusun Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawirangegara: Lebih Takut kepada Allah SWT (1986), Syafruddin mengenang masa kecilnya itu. Ia mengaku, pada saat itu mengalami sedikit gegar budaya. Sebab, kehidupan keagamaan Islam di daerah itu terasa lebih longgar, tidak seperti di Banten.
Begitu lulus dari ELS, Syafruddin masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Madiun. Lembaga pendidikan itu setingkat sekolah menengah pertama dengan Belanda sebagai bahasa pengantar.
Selesai belajar di MULO, ia merantau ke Bandung (Jawa Barat) untuk meneruskan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) penjurusan ilmu sosial. Pada 1934, studinya berlanjut ke Recht Hoge School (RHS), yakni sekolah tinggi hukum bentukan pemerintah kolonial di Batavia (Jakarta). Lima tahun kemudian, ia berhak menyandang gelar sarjana “meester in de rechten” yang disingkat “Mr.”
Berjiwa nasionalis
Di RHS Batavia, Syafruddin tidak hanya berkutat pada perkuliahan, tetapi juga aktif berorganisasi. Ketika itu, ia menjadi anggota Unitas Studiosorum Indonesia (USI), semacam perhimpunan mahasiswa setempat. Walau menggunakan nama “Indonesia”, USI tidak berhaluan politik.. Di antara kegiatannya adalah berdiskusi, belajar bersama, dan olahraga.
Di kampusnya itu, Syafruddin menaruh respek pada banyak dosen yang berdarah Belanda. Namun, ada satu pengajar yang baginya “kurang ajar.” Namanya, Profesor Eggens. Padahal, di negeri asalnya guru besar ini masyhur sebagai notaris yang dihormati.
Suatu kali, Prof Eggens memberikan kuliah di dalam kelas. Tanpa alasan yang jelas, di tengah ceramah disampaikannya bahwa bahasa Indonesia tidak mungkin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Ia menilai bahasa Indonesia adalah bahasa yang primitif.
Mendengarnya, Syafruddin tersinggung walaupun sehari-hari dirinya jarang berbahasa Melayu (Indonesia) dan lebih sering berbahasa Belanda atau Sunda. Beberapa hari kemudian, mahasiswa RHS Batavia ini menulis sebuah artikel dalam bahasa Belanda, berjudul “Een Holandse Kwajongen.”
Dalam artikelnya itu, Syafruddin berpendapat, menjelek-jelekkan sebuah bahasa asing adalah perbuatan orang yang bergajul (kwajongen). Dari lisan seorang guru besar seperti Prof Eggens seharusnya muncul pernyataan-pernyataan yang bijaksana dan ilmiah, bukan malahan penghakiman yang cacat logika dan tidak mendasar.
Tidak menunggu waktu lama, tulisan Syafruddin itu menggegerkan seisi kampus. Ia pun dipanggil dewan guru besar RHS Batavia yang diketuai Prof Zeylemaker. Sang mahasisswa berkata, dirinya akan meminta maaf kepada Prof Eggens bila akademisi Belanda itu terlebih dahulu meminta maaf secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk semua mahasiswa pribumi di kampus ini.
Dewan guru besar kemudian tidak bereaksi lebih lanjut. Mereka pun tidak memanggil Prof Eggens. Akhirnya, persoalan dianggap angin lalu saja.
Pada masa-masa menjadi mahasiswa, Syafruddin termasuk kalangan yang optimistis pada dampak Politik Etis. Cikal bakal kebijakan ini ialah ide sang penasihat pemerintah kolonial, Christiaan Snouck Hurgronje, pada 1889. Profesor Universitas Leiden itu menghendaki koeksistensi antara orang Belanda dan orang (pribumi) Hindia Belanda di masa depan. Karena itu, pihak penjajah mendirikan berbagai sekolah tinggi di Tanah Air untuk menghasilkan kaum pribumi terdidik yang bersimpati pada Belanda.
Namun, kasus ucapan Prof Eggens dan cara kampus RHS Batavia menanganinya membuat Syafruddin kecewa. Ia pun menyadari, pemerintah kolonial Belanda nyata bersikap ketus, oportunis, dan hanya ingin mempertahankan posisi mayoritas rakyat Hindia pada level paling bawah di piramida sosial.
Kekecewaan Syafruddin pada Belanda kian besar pada 1942. Kala itu, pasukan Jepang mulai menduduki satu per satu wilayah Hindia. Bukannya menghadapi agresor, ramai-ramai pejabat kolonial Belanda kabur ke Australia. Akhirnya, negeri ini pun berada di bawah pendudukan Nippon.
Memasuki zaman penjajahan Jepang, Syafruddin menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok gerakan nasionalis bawah tanah yang dipimpin Sutan Sjahrir. Salah satu misi mereka adalah menjalankan radio secara sembunyi-sembunyi agar bisa mendapatkan informasi dan berita tentang perkembangan luar negeri. Salah satu kabar besar yang mereka terima terjadi pada 14 Agustus 1945, ketika Jepang mengumumkan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta membacakan teks Proklamasi RI. Sejak itu, Indonesia memasuki alam kemerdekaan dan harus berjuang keras untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini.
Aktif di pemerintahan
Masih pada bulan Agustus 1945, Syafruddin Prawiranegara dipercaya sebagai pimpinan sekretariat Komite Nasional Indonesia untuk Karesidenan Priangan. Pada Oktober 1945, posisinya naik menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yakni cikal bakal DPR-RI.
Pada 3 November 1945, pemerintah RI mengeluarkan maklumat yang mendorong terbentuknya partai-partai politik di tengah masyarakat. Pada masa ini, Syafruddin memilih Masyumi sebagai kendaraan politiknya.
RI tidak lagi menganut sistem presidensial, melainkan parlementer. Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama RI pada 14 November 1945. Saat Sjahrir kembali menyusun kabinetnya yang kedua pada 3 Maret 1946, Syafruddin duduk sebagai menteri muda keuangan. Pada periode berikutnya, jabatannya naik menjadi menteri keuangan pada Kabinet Sjahrir III sejak 2 Oktober 1946.
Thee Kian Wie dalam buku Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an Sampai 1990-an menyebut Syafruddin Prawiranegara berperan penting dalam menata lanskap ekonomi nasional RI yang baru seumur jagung. Lebih-lebih usai Belanda mengakui kedaulatan RI pada 1949, Pak Syaf—demikian panggilan akrabnya—kemudian diamanahi berbagai jabatan dalam periode yang berbeda-beda. Ia antara lain pernah menjadi menteri keuangan dan menteri kemakmuran rakyat.
Menurut Thee, hal itu membuat Pak Syaf lebih tampak seperti seorang teknokrat, alih-alih politikus murni. Memang, bidang ekonomi sudah dikajinya secara serius, terutama sejak bekerja pada jawatan keuangan di Kediri pada zaman pendudukan Jepang. Berbagai pengetahuan tentang masalah fiskal, moneter, dan sistem perekonomian diperolehnya pada masa itu.
Sekurang-kurangnya, ada dua peran Pak Syaf dalam perekonomian Indonesia pada masa revolusi hingga pasca-pengakuan kedaulatan: penerbitan mata uang (Oeang Republik Indonesia, ORI) dan “Gunting Syafruddin.” Mengenai ORI, momentumnya terjadi pada waktu Pak Syaf masih berada di luar struktur pemerintah pusat.
Ketika itu, ia masih bekerja pada kantor pajak di Bandung. Dalam sebuah kesempatan, Syafruddin berupaya meyakinkan wakil presiden RI, Mohammad Hatta, agar Indonesia memiliki mata uang sendiri. Awalnya, Bung Hatta menolak, tetapi kemudian menerima usulan itu sebagai salah satu alat perjuangan.
Seperti dituturkan Mohammad Saubari dalam buku yang disunting Thee Kian Wie (2005), pada 1945, di Tanah Air beredar dua jenis mata uang, yakni yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda dan yang dicetak pemerintah pendudukan Jepang. Usai Perang Dunia II, Belanda dalam wajah Netherlands Indies Civil Administration (NICA) datang kembali ke Indonesia dengan ikut pasukan Sekutu. Tujuannya menjajah kembali negeri ini.
Tidak sekadar membawa tentara, NICA pun mengedarkan mata uang baru. Jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat Tanah Air pun melonjak. Alhasil, laju inflasi meroket dan diperparah pula dengan situasi perang revolusi sehingga barang dan jasa menjadi kian langka.
Usai diyakinkan Syafruddin, Bung Hatta memutuskan, Indonesia akan mencetak mata uang sendiri. Di tengah pelbagai kesulitan, semisal sukarnya bahan-bahan utama pembuatan uang kertas, pemerintah RI berhasil mengedarkan ORI pada 30 Oktober 1946.
“Uang kertas yang pertama itu ditandatangani oleh AA Maramis selaku menteri keuangan--waktu itu awal 1946. Tetapi saya mendistribusikan uang itu ketika kemudian menjabat menteri keuangan di tahun itu juga,” kata Syafruddin dalam wawancaranya dengan Anne Booth dan Thee Kian Wie (2005:42).
Adapun kebijakan moneter yang populer dengan nama “Gunting Syafruddin” terjadi ketika Pak Syaf duduk sebagai menteri keuangan RI dalam Kabinet Hatta II. Beleid itu mulai berlaku pada pukul 20.00 WIB malam tanggal 10 Maret 1950.
Kebijakan tersebut menyasar dua jenis mata uang yang kala itu masih beredar di Tanah Air, yakni uang yang dikeluarkan NICA (populer dengan sebutan “uang merah”) dan uang yang dicetak De Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia. Menurut aturan “Gunting Syafruddin”, “uang merah” dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua.
Guntingan yang sebelah kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah RI dengan nilai setengah dari nilai semula hingga tanggal 9 Agustus 1950 pukul 18.00 WIB. Dan, mulai tanggal 22 Maret sampai 16 April 1950, bagian kiri tersebut harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk resmi oleh pemerintah.
Apabila lewat dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Sementara itu, guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula. Obligasi itu akan dibayar pemerintah RI pada 40 tahun kemudian dengan bunga sebesar tiga persen setahun.
“Gunting Sjafruddin” juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan. Demikian pula halnya dengan uang ORI.
Pemerintah RI ketika itu menerapkan kebijakan tersebut demi mengatasi kemelut situasi ekonomi Indonesia. Negara sedang terpuruk lantaran banyak masalah; mulai dari utang yang menumpuk, inflasi yang melesat tinggi, hingga harga-harga kebutuhan pokok rakyat yang melambung.
“Gunting Syafruddin” merupakan sebuah kebijakan yang cukup kontroversial. Bagaimanapun, dari sana pun tampak betapa hebatnya integritas yang dimiliki penyelenggara negara kala itu.
Sebagai perdana menteri RI ketika itu, Bung Hatta pasti mengetahui “Gunting Syafruddin”, bahkan sebelum kebijakan itu diterapkan pada masyarakat luas. Imbas kebijakan itu pun jelas: merosotnya nilai uang—yakni “uang merah” dan uang terbitan De Javasche Bank.
Bung Hatta pun bisa saja memberitahukan terlebih dahulu kepada istri atau keluarganya sebelum “Gunting Syafruddin” diumumkan ke publik. Bila demikian, mereka akan mudah membuat antisipasi sehingga terhindar dari dampak-dampak yang tak diinginkan.
Namun, standar moral Bung Hatta tinggi. Tidak sudi membocorkan rahasia-negara, termasuk kepada istrinya sendiri. Maka pada hari ketika “Gunting Syafruddin” diumumkan, Rahmi terkejut bukan kepalang.
Istri Bung Hatta itu lalu protes kepada sang suami. Sebab, uang tabungan—dalam wujud “uang merah” dan uang cetakan De Javasche Bank—yang telah dikumpulkannya sejak lama menjadi tidak cukup lagi untuk membeli mesin jahit yang lama diidam-idamkannya.
“Bu, itu kan rahasia negara... Kalau Bapak kasih tahu Ibu, namanya bukan rahasia lagi,” ujar Bung Hatta menenangkan sang istri, seperti dikutip dari buku biografinya.
Keluarga Syafruddin Prawiranegara juga mengalami “nasib” yang sama. Istri menteri keuangan RI itu terkejut karena Pak Syaf tidak pernah mengisyaratkan, apalagi memberi tahu, perihal kebijakan “gunting uang” itu. Dengan tenang, ia berkata kepada istrinya, “Masa hanya rakyat yang kena?”
Pak Syaf mafhum, apabila dirinya membocorkan rencana kebijakan itu sebelum diumumkan kepada khalayak luas, sang istri akan segera menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang. Ya, wajar saja bila tidak mau memegang atau menyimpan uang yang nilainya akan jatuh merosot. Syafruddin maupun Bung Hatta adalah contoh pejabat yang teguh berprinsip bahwa kepentingan rakyat selalu menjadi prioritas utama.
Menjadi ‘presiden’ RI
Bila berbicara tentang sosok Syafruddin Prawiranegara, orang umumnya akan teringat pada salah satu momen krusial dalam sejarah Indonesia, yakni terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Konteks yang terjadi kala itu adalah Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari serangan Belanda/NICA.
Pada Juni 1948, pemerintah dalam kondisi yang pelik. Komunikasi antara RI dan Belanda pasca-Perjanjian Renville (17 Januari 1948) kembali buntu. Lebih-lebih, gejolak pun timbul dari dalam negeri, yakni dengan pecahnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur, pada 18 September 1948.
Mencermati situasi, presiden Sukarno mengumpulkan jajarannya. Mereka membicarakan, apakah perlu membuat antisipasi untuk memindahkan sementara para pimpinan negara dan angkatan perang RI ke luar Jawa. Opsinya adalah Sumatra dan luar negeri—yakni India—tanpa sepengetahuan pihak Belanda. India dipilih karena simpati negara Mahatma Gandhi itu pada perjuangan Indonesia.
Wakil presiden Mohammad Hatta pada November 1948 berangkat ke Bukittinggi (Sumatra Barat). Tujuannya mempersiapkan Sumatra sebagai pusat pemerintahan RI. Hal itu sebagai antisipasi bila Belanda, sebagaimana diprediksi, melancarkan serangan atas Yogyakarta—ibu kota RI saat itu.
Ketika itu, Syafruddin Prawiranegara berada di Bukittinggi. Oleh Bung Hatta, Pak Syaf diminta untuk tetap tinggal di kota ranah Minang tersebut sembari melaksanakan tugasnya sebagai menteri kemakmuran rakyat. Kemudian, kembalilah sang wakil presiden ke Yogyakarta.
Dalam biografinya yang disusun Ajip Rosidi, Syafruddin Prawiranegara mengenang situasi genting menjelang Desember 1948. Ketika itu, para tokoh nasional memikirkan dua “kemungkinan” masa depan perundingan antara RI dan Belanda. Pertama, bila kesepakatan tercapai, Belanda akan mengakui kedaulatan RI. Memang, hal demikian kala itu dianggap mustahil.
Kedua, jika jalan menuju perundingan terus buntu, Bung Hatta sebisa mungkin diberangkatkan dari Yogyakarta ke Bukittinggi. Tujuannya agar sang wakil presiden bisa membentuk pemerintahan darurat Republik Indonesia di sana.
Pada pukul 05.30 WIB pagi tanggal 19 Desember 1948, militer Belanda mulai menyerang Yogyakarta. Dalam situasi yang sedemikian gawat itu, Bung Karno dan Bung Hatta masih sempat menggelar sidang kabinet darurat pada pukul 10.00 WIB. Mereka menghasilkan tiga putusan penting.
Pertama, presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal di dalam Yogyakarta. Hal ini berisiko keduanya ditangkap Belanda; dan memang demikianlah yang pada akhirnya terjadi.
Kedua, tentara dan rakyat agar melaksanakan perang gerilya terhadap pasukan Belanda. Ketiga, presiden dan wakil presiden mengirimkan kawat kapada menteri kemakmuran rakyat, Syafruddin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi (Sumatra Barat). Syafruddin diangkat sementara untuk membentuk pemerintahan darurat, termasuk jajaran kabinet sebagai alat-alat kelengkapannya.
Pada hari itu, Bung Karno dan Bung Hatta serta sejumlah tokoh nasional ditawan pasukan Belanda. Musuh mengira, pemerintahan RI sudah lumpuh dan bahkan eksistensi negara Indonesia tidak lagi ada. Nyatanya, RI masih ada, yakni dengan tegaknya PDRI di Sumatra barat.
Pak Syaf saat itu berusia 37 tahun. Di Bukittinggi, ia terkejut mendengar kabar bahwa Sukarno, Hatta, Sjahrir, serta para petinggi negara telah ditangkap Belanda. Pasukan musuh juga memburu jenderal Sudirman, yang memimpin perang gerilya di Jawa.
Sementara itu, militer Belanda juga dengan cepat merambah ke Sumatra, khususnya menarget Bukittinggi dan sekitarnya. Para tokoh nasional, termasuk Pak Syaf, pun memutuskan untuk menyingkir ke luar kota. Tepatnya ke area perkebunan teh Halaban, sekira 15 km di selatan Payakumbuh.
Di antara dentuman mortir dan bom yang dijatuhkan Belanda dari langit Sumatra barat, tokoh-tokoh nasional mengadakan rapat. Mereka waktu itu sekadar mengetahui berita bahwa Bung Karno dan kawan-kawan telah ditangkap Belanda, bukan bahwa ada kawat dari Yogyakarta kepada Syafruddin Prawiranegara. Yakni, kawat yang berisi mandat dari Bung Karno untuk menteri kemakmuran rakyat tersebut membentuk dan memimpin pemerintahan darurat.
Maka dari itu, pembentukan pemerintah darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra barat saat itu semata-mata berdasarkan kesadaran dan tanggung jawab kolektif mereka. Para tokoh, baik pemuka setempat maupun yang datang dari pusat—semisal Syafruddin—menghendaki agar jangan sampai terjadi kekosongan pemerintahan di Indonesia. Kekosongan itulah yang memang dikehendaki Belanda supaya bisa mengeklaim bahwa RI sudah musnah dari muka bumi.
Seperti diceritakan Syafruddin dalam biografi yang disusun Ajip Rosidi, PDRI dibentuk pada pukul 04.30 WIB pagi, tanggal 22 Desember 1948, di Halaban. Para hadirin rapat ini menyepakati Bukittingi sebagai ibu kota. Ketika menentukan siapa yang harus memimpin pemerintahan darurat ini, timbul keraguan pada diri Pak Syaf.
Sebab, saat itu ia bukanlah yang paling tua. Namun, di antara hadirin rapat dialah yang pada faktanya memegang jabatan tertinggi di lingkup nasional, yakni selaku menteri. Akhirnya, forum bersepakat bahwa Syafruddin-lah yang memimpin PDRI. Istilah yang dipakai pun adalah “ketua”, bukan “presiden”, sekalipun tanggung jawabnya sama seperti presiden dan sekaligus perdana menteri.
Sebagai pemegang pucuk pimpinan PDRI, sesungguhnya Syafruddin berhak atas sebutan “presiden RI.” Namun, dalam dokumen yang memuat struktur kabinet PDRI, namanya dicantumkan sebagai “ketua PDRI”—bukan presiden. Hal ini antara lain menunjukkan kebesaran jiwa Pak Syaf yang tidak ambisius pada jabatan, melainkan komitmen untuk menyelesaikan tugas dan amanah yang diembankan kepadanya dengan sebaik-baiknya.
Bagi Belanda, jatuhnya Yogyakarta tidak cukup. Bahkan, penangkapan atas Sukarno, Hatta, dan Sjahrir juga masih terasa kurang lengkap. Sebab, tujuan agresi militer ini adalah meniadakan sama sekali eksistensi pemerintah dan negara Indonesia. Maka, menumpas PDRI adalah sebuah keharusan.
Hingga akhir Desember 1948, Belanda tak kunjung bisa menumpas kekuatan gerilya RI di Jawa maupun Sumatra barat. Di dunia internasional, neo-kolonialis ini menuai kecaman dari banyak negara. Sebagai bentuk protes terhadap agresi militer itu, sejumlah negara menutup bandaranya bagi pesawat-pesawat terbang yang berbendera Belanda.
RI semakin tidak bisa dianggap sebagai “persoalan dalam negeri Belanda.” Wakil Belanda di PBB juga harus menanggung malu lantaran tidak bisa menutupi fakta tentang ditawannya Bung Karno dkk. Diplomasi RI di PBB terbilang sangat sukses sehingga Amerika Serikat (AS) yang semula netral menjadi turun tangan. Washington DC juga mendesak RI dan Belanda agar kembali berunding.
Resolusi PBB pada Januari 1949 jelas menguntungkan RI. PBB membentuk United Nations Commission for Indonesia (UNCI), untuk menjembatani perdamaian. Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda benar-benar makin terjepit. Dasar mental penjajah, mereka lalu melancarkan politik pecah-belah di “detik-detik terakhir.”
Belanda menyatakan bersedia berunding dengan pihak Indonesia. Namun, yang dimaksud dengan “pemerintah RI” baginya bukan PDRI, melainkan Sukarno-Hatta. Padahal, kedua “Dwitunggal” ketika itu berstatus sebagai tawanan Belanda.
Ternyata, Sukarnomenerima tawaran Belanda itu. Sehingga, terjadilah Perundingan Roem-Royen. Tentu saja, Syafruddin dan jajarannya di PDRI sempat tidak habis pikir dengan sikap Sung Karno. Bahkan, Jenderal Sudirman mengirimkan kawat kepada Pak Syaf: “Minta keterangan, apakah orang-orang yang masih ditahan (dalam status tawanan) atau pengawasan Belanda, berhak untuk berunding, lebih-lebih menentukan sesuatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan status negara kita, sedangkan telah ada Pemerintah Pusat Darurat (PDRI) yang telah diresmikan sendiri oleh Presiden (Sukarno) ke seluruh dunia.”
Dalam situasi demikian, Syafruddin tetap berpikir jernih. Ia tidak mau ikut arus yang lantang mengecam tindakan Bung Karno, tetapi pada saat yang sama pun tidak berjarak dengan mereka yang memprotes Perjanjian Roem-Royen. Malahan, Pak Syaf cenderung “mendinginkan” kedua belah pihak yang pro-kontra itu.
Pada 6 Juli 1949, jajaran PDRI bertemu dengan utusan Bung Hatta di Desa Koto Kaciek—kini bagian dari Kabupaten Limapuluhkota. Dalam kesempatan itu, Pak Syaf menyatakan, demi mencegah perpecahan Indonesia dan menjaga serta memelihara persatuan nasional, dirinya akan menyerahkan mandat kembali kepada Bung Karno di Yogyakarta.
Berkat sikapnya itu, selamatlah RI dari upaya devide et impera yang diinginkan Belanda. Hal itu sekaligus menggambarkan betapa besarnya jiwa Pak Syaf yang tetap berusaha memegang amanat dengan jujur.
Pada 9 Juli 1949, Syafruddin dan rombongan tiba dari Bukittinggi ke Jakarta. Keesokan harinya, mereka tiba di Yogyakarta dengan wajah berseri-seri. Tanda syukur dan lega hati lantaran telah menunaikan tugas sedemikian penting dengan sukses.
Pada 13 Juli 1949, sidang kabinet digelar dengan dipimpin Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dalam kesempatan itu, Syafruddin selaku ketua PDRI menyerahkan mandat kepada Presiden RI Sukarno. Hal itu didahului dirinya melaporkan tentang apa-apa yang telah dia dan jajarannya lakukan selama menyelenggarakan PDRI.
Demikianlah, usia PDRI hanya enam bulan 21 hari. Namun, sungguh besar makna PDRI bagi kelangsungan perjuangan bangsa dan negara Indonesia.